Jakarta (ANTARA) - Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto membeberkan sejumlah praktik korupsi yang dilegalkan dalam sistem kepemimpinan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sejak 2007 silam.
Praktik korupsi yang dilegalkan berupa pemberian tunjangan khusus kepada Satuan Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan Pemprov DKI.
Seseorang yang berusaha membuat kaya dirinya sendiri atau orang lain dengan menggunakan uang negara sama dengan korupsi, tegas Prijanto saat menghadiri undangan Gerakan Indonesia Bersih untuk mengikuti forum diskusi bedah buku Mahkamah Intelektual, Rabu (5/9).
Menurut Prijanto, tunjangan khusus sebesar satu bulan gaji diberikan kepada seseorang karena jabatan dengan pertimbangan memilili keahlian langka, penugasan di daerah terpencil, mengandung risiko bagi kesehatan dan rawan terhadap risiko kejiwaan.
Saya tidak menemukan adanya kriteria tersebut di 12 SKPD yang bersangkutan, jadi saya menolak memaraf Pergub yang memuat aturan tersebut, walau itu hanya revisi terkait perubahan nama SKPD, ujar Prijanto.
Ia menuturkan, persoalan tersebut terjadi pada awal Mei 2009. Akibatnya, Fauzi Bowo menegur Prjanto atas penolakan tanda tangan.
Gubernur (Fauzi Bowo) beralasan kepada saya, `Pak Wagub tidak merasakan, mereka adalah teman-teman saya yang naik turun tangga bersama-sama saya.` Dalam hati saya bertanya, sebenarnya Pemprov DKI Jakarta ini dikelola dengan prinsip pertemanan atau berbasiskan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa? tuturnya.
Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti Yenti Garnasih selaku saksi ahli dalam Mahkamah Intelektual mengunglkapkan, Prijanto harus siap menghadapi konsekuensi hukum apabila tudingan yang disampaikan lewat buku berjudul Kenapa Saya Mundur tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum.
Seandainya data-data yang dikatakan tidak benar, Prijanto akan berhadapan dengan konsekuensi hukum. Tudingan bisa disebut fitnah dan harus ada implikasi hukumnya. Seandainya benar, diperlihatkan pada publik bahwa ada ketidaketisan tata kelola secara birokrasi untuk sebuah provinsi terbesar di Indonesia (Jakarta), ungkap Yenti.
Sementara Ketua sidang Mahkamah Intelektual, Tjipta Lesmana saat menutup acara memberikan tiga rekomendasi agar situasi yang ada ditindaklanjuti secara hukum.
Pertama, tidak terbangun komunikasi sehat antara gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Kedua, dari kondisi yang tidak sehat tersebut, dampaknya terasa sekali pada kinerja pemerintah DKI Jakarta. Bahkan, dimanfaatkan untuk banyak kepentingan positif dan negatif.
Ketiga, adanya dugaan penyalahgunaan kewenangan dan kerugian keuangan negara.
Untuk itu, situasi ini harus ditindaklanjuti aparat penegak hukum dan kami merekomendasikan pada instansi terkait seperti kepolisian dan KPK untuk menindaklanjuti apa yang telah ditulis dalam buku oleh Prijanto," paparnya.(ar)
No comments:
Post a Comment